December 10, 2012

ketika sebuah langkah harus berhenti...

Dia tidak bodoh, meskipun bukan seorang jenius atau seseorang yang memiliki segudang prestasi dengan sederet penghargaan bukti kepintarannya, kecerdasannya, talentanya yang luar biasa atau pun memukau.. tidak, dia tidak memiliki itu semua tapi sungguh dia tidak bodoh.

Dia tidak bodoh karena berhasil menamatkan sekolahnya hingga perguruan tinggi, bahkan dia sangat menikmati waktu-waktu yang dilaluinya untuk menyelesaikan salah satu tanggung jawabnya sebagai seorang anak yang ingin membuat orang tua dan keluarganya bangga padanya. 

Dia tidak cukup bodoh karena dia sangat menikmati masa-masa yang dilaluinya semasa studinya, ambil bagian dalam berbagai kegiatan bahkan ikut berorganisasi. Karena sungguh, ia sangat menikmati ketika memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu untuk dan bersama dengan orang lain, senyum manis yang bernada “terima kasih, kau melakukan pekerjaan yang luar biasa” dari mereka melegakan hatinya. 

Sungguh dia tidak bodoh, karena dia memiliki keyakinan, dia memiliki iman, meski sering terjatuh, namun dia selalu berusaha untuk tetap berserah dan mengandalkan Penciptanya.

Dia tidak bodoh, sungguh.. namun sepertinya tidak bodoh saja tidak cukup. Karena ketika dia ingin melangkah menuju tanggung jawab diri yang lebih besar dari seorang individu, yakni berkarya dan mencari pekerjaan tempat dimana ia ingin mengabdi, tempat dia ingin belajar dunia yang lebih besar, tempat yang diyakininya sebagai tempat dimana dia dapat menunjukkan kebolehannya dari semua pendidikan yang dipelajarinya selama ini. 

Tidak bodoh saja tidak cukup, karena untuk satu alasan dia harus berhenti. Berhenti entah untuk berapa lama, karena dia tidak bisa melangkah... dia bukan orang yang tegar, namun dia tetap berusaha dan mencoba bersikap tegar. Karena dia tidak ingin dianggap lemah dan bodoh, ya dia menangis bahkan ketika dia tidak punya kesempatan untuk mengeluarkan air matanya, hatinya menangis. Dia tahu menangis bukan solusi, namun air mata itu tidak bisa dibendungnya. Agar tidak tampak lemah dan bodoh, dia melampiaskan perasaannya saat dia seorang diri, karena dia tidak suka dipandang rendah dan dikasihani. Mungkin orang-orang itu berpikir ingin membantunya, namun baginya semua itu semakin menunjukkan betapa dia tidak mampu, semua bantuan itu semakin memperjelas bahwa ia sedang berhenti, dia tidak bisa melangkah. 

Dia tidak bodoh, namun situasi itu membuatnya bertanya di dalam hati tidak cukup baikkah dia dibandingkan yang lain hingga dia tidak bisa melangkah. Mengapa yang lain bisa dan ia tidak?? Sungguh ia tidak bodoh, dia memiliki kemampuan yang tidak jauh baik dari orang lain, namun karena satu alasan itu dia tidak memiliki kesempatan melangkah. Dalam tangisnya dia mengeluh, dia bertanya pada Penciptanya, dia memohon kekuatan untuk tetap percaya pada Penciptanya bahkan ketika langkahnya terhenti untuk satu alasan itu, alasan yang menghantam rencana-rencana hidupnya, impiannya.. 

Dia tidak bodoh, karena bahkan ketika langkahnya berhenti dia tetap berserah pada Penciptanya, membiarkan Penciptanya menilik hatinya, mengimani Penciptanya akan menghapus air matanya dan menyejukkan hatinya yang sedang menangis...

Dia menangis, masih menangis.. ketegarannya bertumbuh ketika dia mendekatkan diri pada Penciptanya, melepaskan keluh kesahnya pada Penciptanya, mengucap syukur untuk banyak hal pada Penciptanya. Tapi dia rapuh, rapuh dan masih menangis dan sungguh dia tidak bodoh.  Tidak adil baginya, sungguh tidak adil, namun ia tidak berani menegosiasikan keadilan pada Penciptanya. Karena sungguh dia tidak bodoh dan keyakinannya mengajarkan dia untuk tidak berusaha mencoba mendikte Penciptanya soal keadilan.

Dia mencoba tetap percaya pada Penciptanya, berserah namun ya dia masih menangis... dan tegar sungguh bukan gambaran yang tepat untuk hatinya saat ini, namun dalam tangisnya dia berdoa, dia berharap, dan berserah pada Penciptanya.